Gaji Tiga Belas

WILLIYA META, adalah mahasiswi IAIN Imam Bonjol Padang Fakultas Syariah Jurusan Ekonomi Islam semester IV. Dilahirkan di Jorong Andaleh, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat 27 November 1992. Karya-karyanya telah dipublikasikan di Singgalang, Haluan, Suara Kampus, Portal Suara Kampus, Tabloid Qalam dan Tabloid Salam Dharmasraya. Beberapa kali memenangkan lomba kepenulisan cerpen. Karya-karyanya bergabung dalam antologi cerpen lokal maupun nasional, seperti antologi Potongan Tangan di Kursi Tuhan, Negeri Kesuda, Air Mata Sunyi. Sedangkan novel perdananya berjudul Bulan Hijau di Turian, akan segera terbit (diterbitkan oleh penerbit Diva Press). Sekarang, ia sedang menggarap novel keduanya. Dalam keorganisasian ia terlibat di Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumatera Barat, sekarang diamanahkan sebagai Koordinator Humas dan Danus  FLP Sumbar (2010-2012). Dia juga diamanahkan sebagai redaktur sastra Tabloid Qalam (2010-sekarang). Dia juga aktif dalam keorganisasian Forum Studi Islam Al-Irsyad, Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang, anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Padang, dan juga anggota Kajian Studi Ekonomi Islam (KSEI) IAIN Imam Bonjol Padang. Menetap di Kota Padang, Kecamatan Kuranji, Kelurahan Lubuk Lintah, RW/RT 01/03. Hp: 081993519399. Email: bulan.hijau@ymail.com

GAJI TIGA BELAS

Cerpen Williya Meta

Tiba-tiba saja Ilpan berlari ke ruang tamu, kemudian memagut ayahnya yang sedang asyik membaca koran dengan manja. Pamenan tersentak dibuatnya, “Ada apa, Pan?” Tanya Pamenan pada si bungsu itu sambil melipat koran bacaannya. Kemudian, diusap-usapnyalah kepala Ilpan.

“Ayah punya uang?” Ilpan balik bertanya malu-malu.

Pamenan tersenyum. “Untuk apa?”

Ilpan menegakkan kepala. Ditatapnyalah mata Pamenan beberapa saat. Kemudian, bocah itu kembali memagutnya. “Untuk apa, Pan?” Tanya Pamenan penasaran.

“Jawab dulu, Yah. Ayah punya uang atau tidak?”

“Katakan dulu untuk apa? Kalau tidak, Ayah juga tidak akan menjawab.” Ayah beranak itu bersitegang manja. Ilpan kembali menegakkan kepala. Ia membulatkan mata menatap Pamenan. “Aku ingin membeli sesuatu. Maukah ayah membelikannya?” Tanyanya sungguh-sungguh.

Pamenan terbahak. “Gayamu sudah seperti orang dewasa saja, Nak. Mmm, mau beli apa? Segini cukup?” Pamenan meronggoh saku celananya, lalu mengeluarkan uang jingga-sepuluh ribuan.

Secepat kilat Ilpan merebut uang itu. “Bang…” teriak Ilpan sambil berlari dan mengibar-ngibarkan uang itu ke udara. Wajahnya berbinar-binar. Melihat air muka adiknya bahagia, maka Ires menyambutnya dengan suka-cita, “Dapat?” Tanyanya kemudian.

Ilpan menyerahkan uang kertas yang diberikan Pamenan. “Ini! Ayo bang, kita beli!” Kata Ilpan sambil menyeret tangan Ires sekuat tenaganya.

“Tunggu! Segini mana cukup!” Kata Ires sambil mengernyitkan dahi. Bibirnya naik ke atas dengan mata melotot, mematut-matut uang jingga. Ilpan terdiam. Ires juga masih tercenung. “Kau bilang apa pada ayah tadi?” Tanya Ires memecah keheningan.

“Aku tanya; apa ayah punya uang atau tidak,” jawab Ilpan polos.

“Kau bilang kita mau beli mobil-mobilan?” Ires memastikan. Ilpan menggeleng pelan. Ires naik pitam. Dipukulnya kepala Ilpan. Adiknya pun menangis kencang.

Mendengar tangisan Ilpan, Pamenan segera berlari ke teras depan. Serta-merta dia langsung merangkul Ilpan. “Ada apa ini?” Tanya Pamenan kemudian.

“A… abang jahat, Yah…” rengek Ilpan dengan tangisan semakin menjadi-jadi. Pamenan segera menoleh ke arah Ires yang tubuhnya pucat benih dan bergetar.

“Ampun, Yah…” Ires ikut meledakkan tangisan. “Ampun, Yah” tangisnya semakin membuncah.

Ibalah hati Pamenan dibuatnya melihat si sulung mengiba sedemikian. Dilihatnya bibir si sulung mulai membiru. “Tidak, ayah tak akan memarahimu. Kesinilah!” Pamenan mencoba menukar suasana menegangkan dengan kedamaian.

Ires tetap tak beranjak. Tubuhnya semakin bergetar. Tampak sangat dirinya ketakutan. “Kesinilah…” kata Pamenan pelan sambil memberikan senyuman.

Melihat senyuman itu, sedikit tenanglah hati Ires. Ia melangkah perlahan menuju Pamenan. “Kau apakan adikmu?” Tanya Pamenan perlahan sambil menghapus serpihan air mata di pipi si sulung.

“Dia memukulku, Yah,” si bungsu mengadukan. Tangisannya kini mulai sepi. Dalam hati ia berharap si abang mendapat pukulan balasan dari sang ayah.

“Benar kau memukul adikmu?” Tanya Pamenan pelan. Takkan pernah ia menghardik si sulung. Sebab, kalau dia telah meronta-menangis, biasanya tubuhnya akan membiru. Kalau sudah begitu, tiga hari pula paling tidak dia tak sekolah karena demam tinggi. Tak akanlah ia mengambil resiko demikian.

Ires hanya diam. Pamenan merangkul Ires dalam pelukan. “Mengapa kau pukul Ilpan? Katakanlah, biar ayah bisa menyelesaikan.”

“Kami ingin membeli mobil-mobilan, Yah. Itu sebabnya kami sepakat untuk meminta uang pada Ayah. Tapi aku tak berani meminta langsung pada Ayah, karena baru seminggu yang lalu Ayah membelikanku bola kaki. Maka, kusuruhlah Ilpan untuk meminta uang pada Ayah. Tapi, Ilpan hanya minta sepuluh ribu. Mana cukup, Yah.” Papar Ires.

Pamenan menghela nafas panjang. “Berapa harganya?” Tanya lelaki penyayang itu. Ires menggeleng. Pamenan mengalihkan pandangan pada Ilpan. Si bungsu ikut menggeleng. “Lalu, kalian lihat di mana mobil-mobil itu?” Pamenan penasaran.

Ilpan dan Ires mendadak kompak. Ia menyeret tangan Pamenan ke pagar kayu rumah mereka. “Yang seperti itu, Yah!” tunjuk mereka.

Pamenan melihat Alfred, anak dari seorang janda bernama Yeni, sedang mengendalikan sebuah remote. Sedangkan mobil-mobilannya sedang memburu kucing putih hingga tunggang-langgang.

“Kalian mau yang seperti itu?” Tanya Pamenan. Kedua anaknya mengangguk senang. Pamenan terdiam. Lama ia menatap ke seberang jalan, menatap mobil mainan. Ditaksirnya, harga mobil itu sekitar lima ratus-ribuan. Amboi, mana cukup uangnya! Tak mungkinlah ia hanya membeli mobil-mobil itu sebuah saja. Bisa semakin parah perang setiap hari dua buah hatinya itu.

“Aku mau yang warna hitam, Yah!” Ilpan menarik-narik celana dasar sang ayah. Pamenan gelagapan.

“Aku yang merah!” Ires tak mau kalah.

Tak tegalah Pamenan mengatakan tidak pada mereka. “Baiklah, bulan depan akan ayah belikan. Sekarang ayah belum ada uang. Kalian paham, bukan?”

Kedua anaknya terdiam. “Janji?” ujar mereka kemudian.

“Janji.”

* * *

Pamenan menyusul Roza ke tempat peraduan. Dia segera duduk di tepi ranjang, sementara Roza sudah terlentang. Dilihatnya mata sang istri menerawang seolah menembus langit-langit kamar. Dalam-dalam ia tatap mata bulat itu, mencoba untuk menerka apa yang sedang bersemayam dalam fikiran Roza. Namun, ia gagal. Sedikitpun tak dapat ia membaca apa yang sedang dilamunkan oleh istrinya. Demi melepaskan penasaran, terpaksalah ia bertanya langsung pada wanita yang tak begitu cantik tapi penuh cinta itu, “Apa yang sedang kau fikirkan, Dik?”

Roza gelagapan mendengar suara Pamenan. Sungguh tak sadar ia bahwa Pamenan sejak tadi disampingnya. “Tak ada apa-apa, Bang,” kilahnya kemudian.

“Aduhai pujaan hatiku, tak usah pula kau bohongi aku. Tak barang sehari aku mengenalmu. Tapi sudah bertahun-tahun. Sudah hapal olehku semua gelagatmu. Kalau matamu sudah menerawang seperti itu, pertanda kau menginginkan sesuatu, bukan? Katakanlah, Dik,” jawab Pamenan pantang kalah.

“Ah, Abang. Tak dapatlah aku berbohong padamu. Sudah hafal betul olehmu akan gelagatku. Mmm, memang aku sedang menginginkan sesuatu. Tapi, tak usahlah ikut Abang memikirkannya. Aku hanya memikirkan sesuatu yang tidak begitu penting,” Roza menyahut kata suaminya. Ia kemudian menepuk-nepuk bantal yang masih kosong di sampingnya. “Tidurlah, Bang, agar besok tak terlambat bangunnya. Abang besok kan harus mengajar.”

“Janganlah pernah kau sembunyikan sesuatu dariku, Dik, walau itu hanya penjahit yang patah. Katakanlah, jika kau benar-benar menghargaiku sebagai suamimu. Tak kau izinkankah aku membahagiakan hatimu?” Mengiba sudah nada bicara Pamenan pada Roza.

Hati Roza pun luluh-lantah mendengarnya. “Ah, abang, pandai betul abang membujukku. Mmm, beberapa hari yang lalu, aku ke pasar. Kulihat sebuah baju dipakaikan pada patung putih di sebuah kios baju. Menawan betul baju itu. Warnanya merah jambu. Motifnya berbunga seribu. Panjangnya mungkin sebetisku, lengan tangannya berpernik batu-batu. Amboi, seperti baju bintang-bintang film yang ada di TV itu. Baru kali itu aku melihat baju sedemikian cantik dan langsung mengetuk hatiku. Aku sungguh-sungguh ingin memilikinya. Aku pasti akan lebih cantik dengan baju itu di depanmu, Bang.” Kenang Roza pada Pamenan. Kemudian ia berhenti sejenak. Diambilnya nafas panjang lantas dibuangnya perlahan. Dengan suara pelan, dilanjutkannya kisah itu, “Tapi, ketika aku tanyakan pada pedagangnya, terkejut bukan kepalang aku mendengarkan. Lima ratus ribu harganya. Maka urunglah niatku untuk mengambil baju itu. Daripada beli baju, lebih baik kubelikan pada yang lebih berguna untuk anak-anak kita. Toh, bajuku masih banyak lagi yang bagus.” Roza mengakhiri kisahnya dengan senyuman. “Sebenarnya, aku telah berusaha untuk melupakan baju itu. Tapi tadi sore, aku melihat Yeni mengenakan baju persis seperti yang kulihat di pasar itu. Itu sebabnya aku kembali teringat pada baju cantik itu,” Roza kembali menyambung akhir ceritanya sambil mengingat kembali bertambah cantiknya janda itu memakai baju tersebut. Aih, mungkin dirinya juga akan cantik jika memakainya.

Berdentinglah hati Pamenan dibuatnya. Suatu rasa yang menyesakkan berkecamuk di dadanya. “Ingatkah engkau akan janjiku ketika aku akan mempersuntingmu dulu?” Pamenan membuka suara setelah membiarkan hening beberapa lama melanda.

Dengan tersipu malu Roza menjawab, “Abang takkan pernah mengecewakanku…”

“Pegang janjiku itu sampai malaikat mecabut nyawaku, Dik,” kukuh Pamenan.

Roza terdiam, “Tak perlulah abang memaksakan diri seperti itu. Sungguh aku tak pernah ingin menyusahkanmu, Bang”

Pamenan mengusap rambut ikal istrinya, “Bulan Juli akan Abang belikan baju itu untukmu. Pegang janji abang itu. Aku akan selalu memupuk senyummu.”

Mata Roza terbelalak. “Darimana abang akan dapat uang? Bukankah gaji abang pas-pas-an untuk makan kita berempat? Kalau abang paksakan diri untuk membeli baju itu, bisa tak makan kita di akhir bulan”

Pamenan terbahak, “Lupakah engkau setiap Juli ada gaji tiga belas? Abang akan mendapat gaji ganda bulan depan.”

Roza segera memeluk Pamenan, “Terima kasih, Bang.”

Pamenan menyambutnya dengan suka cita, hingga matanya berkaca-kaca.

* * *

Pamenan semakin bergairah menjalani profesinya sebagai guru di SDN 01 Lawang-Matur. Lawang, ah, mungkin tak banyak orang mengenal kampung kecil itu. Penduduknya pun tak begitu ramai. Rumah masih jarang-jarang. Di sanalah Pamenan ditempatkan sejak semula dia dinobatkan sebagai pegawai negeri sipil pemerintah.

SD tempat Pamenan mengajar juga tak begitu besar. Ruang guru dan staf tata usaha digabung menjadi satu. Hanya ruang Kepala Sekolah saja yang terpisah. Selebihnya adalah ruang kelas, tempat biasa anak-anak didik menimba ilmu.

Kalau ditanya apakah yang membuat Pamenan semakin bergairah menjalani profesinya, maka jawabannya hanya ada dua, yakni; mobil-mobilan dan baju untuk Roza. Sepele, memang! Tapi kau takkan pernah merasakan betapa pentingnya arti kedua barang itu oleh seorang lelaki penyanyang itu, Kawan! Semakin ia mengingat kedua barang itu, semakin pula kecintaannya bertambah pada mereka.

Ia jadi selalu berangan, lepas bulan Juli, ketika ia pulang bekerja, istri yang menyambutnya terlihat makin cantik dengan baju bintang film-nya, sementara Ilpan dan Ires berhenti main mobil-mobilan untuk mencium tangannya-lantas berlari kembali melanjutkan tanding balap mereka. Kemudian dia dan Roza menatap keriangan dua anak mereka di balik jendela. Aih, bukankah ini yang namanya keluarga bahagia, Kawan?

Angan-angannya itulah yang membuat semangat bekerjanya semakin meletup-letup. Ia benar-benar ingin mewujudkannya. Tak heran mengapa tugas siswa yang biasanya ia periksa di rumah, kini diselesaikannya di kantor selepas semua orang balik ke rumah. Ia tahu dengan rajin seperti itu takkan ditambah gajinya oleh pemerintah. Tapi paling tidak, dengan tidak membawa pekerjaan ke rumah, ia bisa menghabiskan waktunya dengan mencurahkan segala kasihnya pada istri dan anak-anaknya.

Akibatnya, tentulah seminggu terakhir ini-sejak permintaan anak istrinya bermula, dia orang terakhir yang mengunci pintu kantor, lantas menitipkan kunci itu pada penjaga sekolah.

Seperti siang itu, ia sedang asyik menuntaskan pemeriksaan atas tugas siswa yang kemarin dia embankan. Sedang asyik memeriksa, punggungnya terasa kaku. Maka digerakkannyalah punggungnya ke kiri dan kanan. Grakk… Grakk… lega betul rasanya.

Ketika hendak memperbaiki posisi duduknya, matanya dengan tidak sengaja menangkap kunci bergantungan di laci bendahara sekolah. Pamenan melangkah ke arah sana. Diputarnya kunci itu, hingga pintunya terbuka. “Aih, banyak betul uang ini,” ujarnya setengah memekik. Ia segera menutup laci itu kembali. Ia menggeleng-geleng sendiri dengan kelalaian bendahara sekolah kali ini. “Ini harus diselamatkan!” Pamenan memutar kunci itu kembali dan mengantongi kunci tersebut untuk diberikan pada bendahara sekolah esok pagi.

Pamenan kembali duduk di kursinya. Ia kembali terpekur memeriksa tugas siswa. Beberapa saat kemudian, pintu berderik lambat. Pamenan menoleh ke arah pintu,“Eh, Bu Yeni,” sapanya kemudian pada wanita yang baru masuk kantor itu.

Perempuan cantik dengan sanggul tinggi itu pun tersenyum hangat. “Eh, Pak Pemenan belum pulang juga.”

“Iya, Bu. Ini saya sedang memeriksa tugas siswa. Ibu sendiri mengapa berbalik ke sekolah?”

“Wah, rajin betul Pak Pamenan. Mmm, saya mau mengambil tugas siswa juga. Mau saya bawa pulang rencananya,” jawab Yeni sambil berjalan ke mejanya. Ia membuka laci, kemudian mengeluarkan setumpuk buku.

Ketika hendak melangkah pulang, diperhatikannya Pamenan dalam-dalam. Ada suatu rasa berdetik di jantungnya. Entah apa, tapi yang penting sesuatu yang tak pernah ia rasakan pada ayah beranak dua itu sebelumnya.

“Aku boleh duduk di sini, Pak?” Tanya Yeni sambil menunjuk kursi di samping Pamenan.

Pamenan tercengang. Ia terheran. Dan hanya bisa terdiam.

“Saya juga hendak memeriksa tugas siswa saya sekarang. Kalau saya duduk di tempat saya, terlalu jauh, Pak. Takut saya kalau duduk sendirian. Boleh saya di sini, Pak?” Tanya Yeni lagi dengan suara dihalus-haluskan.

“O, si… silahkan, Bu,” Pamenan tergagap dibuatnya. Tak pernah janda cantik itu selembut ini memperlakukannya. Pamenan kembali memeriksa tugas siswanya. Namun, hatinya kini tak tentram. Jantungnya mengalirkan darah dengan kecepatan tinggi.

Tiba-tiba, Pamenan merasakan ada sentuhan di kuduknya. Ia segera menoleh ke sumbernya. Oh, tangan itu begitu lembut, jauh lebih lembut dari tangan Roza. Namun, dengan segera ia menampiknya. “Maaf, bu, saya harus segera pulang!” Pamenan segera berdiri dan melangkah pergi. Namun belum sampai tiga langkah, Yeni memukulnya pundaknya dari belakang.

“Kau fikir istrimu lebih cantik dariku, heh?”

Pamenan berbalik badan. “Tapi dia jauh lebih baik darimu,” jawab Pamenan.

Mata Yeni memerah. Didorongnya tubuh Pamenan ke dinding. Kemudian, disentakkannyalah kedua kerah bajunya sendiri hingga buah bajunya terbuka paksa. Kemudian ia melolong kencang, “Tolong…. Tolong…..”

“Kau sudah gila,” Pamenan menempik tubuh Yeni. Tapi Yeni mendorong tubuh Pamenan sekuat tenaga hingga terjungkal ke lantai. Yeni berlari ke luar, “Tolong… tolong…” pekiknya.

Maka berlarilah penjaga sekolah ke arahnya. Kemudian disusul oleh warga. “Ada apa?” Tanya mereka. Yeni menjawab, “Pamenan berusaha untuk mengotori kehormatanku!”

Pamenan menyangkal, tapi tak ada yang percaya.

***

Pamenan melarang istri dan dua anaknya untuk ke luar rumah. “Tapi mengapa, Bang?” Roza minta penjelasan. “Haruskah semua perintah suami kau minta alasannya, Dik? Beginikah cara kau mencintaiku?” Hanya itu kalimat yang dikeluarkan Pamenan. Maka, bungkamlah Roza dibuatnya. Ia takkan pernah mau membangkang pada Pamenan, lelaki yang telah membawa hidupnya ke jalan yang benar.

Semua perlengkapan rumah tangga, Pamenan sendiri yang akan membelinya. “Sampai kapan kita akan di rumah seperti ini, Yah?” Tanya Ilpan dan Ires di lain kesempatan. “Sampai Ayah memperbolehkan kalian lagi untuk keluar rumah.” Begitu selalu ia katakan. Sejatinya, ia sendiri pun masih bingung sampai kapan.

Setiap hari, Pamenan keluar rumah seperi biasa. Pulang ke rumah juga seperti biasa. Ke sekolahkah? Tidak, dia sudah dipecat secara tidak hormat dengan tuduhan pelecehan entah-berantah. Lucunya lagi, janda jahanam itu berpura-pura baik hati memaafkan ‘kesilafan’ Pamenan dan tidak memperpanjang ke proses hukum. Anehnya lagi, semua orang mudah saja percaya pada janda yang pura-pura tak berdaya itu. Semua orang juga mengatakan, ‘tidak menyangka guru sebaik Pamenan bisa juga berbuat seperti itu.’ Menariknya lagi, tak seorang pun yang mempercayainya.

Setiap hari, Pameran mencari pekerjaan. Sengaja tak diizinkannya Roza dan anak-anak ke luar rumah, sebab ia tak mau mengecewakan mereka. Lambat laun, mereka pasti akan tahu juga semua persoalan. Tapi tidak sekarang, ketika masalah ini belum selesai. Tidak juga mulut ke mulut orang kampung yang jahil menyampaikan kabar ini pada anak-istrinya. Ia ingin menyampaikannya sendiri. Semua ini ia lakukan hanya untuk melindungi  keluarganya. Lantas, dengan cara mengurung mereka di rumah itu disebut dengan melindungi? Aih, begitulah cara lelaki penyayang itu melindungi keluarganya.

Ia takkan membuat keluarganya kecewa. Mobil-mobilan dan baju itu harus ada di bulan Juli, seperti yang telah ia janjikan. Itulah musababnya dia lintang-pukang mencari pekerjaan. Jika dia tak juga mendapatkan pekerjaan? Tak usah risau, Kawan! Kau lupa dia telah mengantongi kunci laci bendahara sekolah yang uangnya melimpah?***

Padang, 16 Juni 2011

Related posts

Leave a Comment

14 − 8 =